Menyikapi Perbedaan Idul Adha

SEMULA, keputusan Majelis Tinggi Arab Saudi, Majlis Al-Qadla' Al-'Ala, yang menetapkan 1 Zulhijah 1425 pada 12 Januari 2005, hari wukuf 9 Zulhijah 1425 pada 20 Januari, dan Idul Adha 21 Januari disambut gembira oleh banyak pihak. Kekhawatiran terjadinya kontroversi, seperti sering terjadi lenyaplah sudah. Majelis mengumumkan tidak ada kesaksian hilal pada akhir Dzulqaidah. Di Indonesia, keputusan itu pun disambut dengan lega. Rapat Badan Hisab Rukyat Departeman Agama pada 22 Desember 2004 lalu sempat mengkhawatirkan terjadinya kontroversi keputusan Arab Saudi yang menyebabkan perbedaan dengan keputusan pemerintah RI.

Ternyata, kelegaan tidak lama. Sabtu, 15 Januari tersiar kabar melalui mailing list pengamat hilal (bulan sabit pertama) dan media massa bahwa Arab Saudi mengubah keputusannya. Berdasarkan laporan terlihatnya hilal pada 10 Januari 2005, maka diputuskan awal Zulhijah jatuh pada 11 Januari 2005.

Akibatnya hari wukuf berubah menjadi 19 Januari dan Idul Adha di Arab Saudi pada 20 Januari 2005. Tentu saja perubahan ini menyebabkan perbedaan dengan Idul Adha di Indonesia dan menimbulkan kebingungan bagi orang awam.

Kalangan astronom jelas menolak kesaksian tersebut karena pada saat magrib 10 Januari 2005 di wilayah Arab bulan telah berada di bawah ufuk. Di Mekah bulan terbenam pukul 18.53 kemudian disusul matahari pukul 18.56. Bagaimana mungkin terlihat hilal padahal bulan telah terbenam. Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) mengeluarkan pernyataan bahwa kesaksian tersebut keliru.

Garis tanggal

Untuk melihat kemungkinan rukyatul hilal di seluruh dunia, biasa digunakan hisab (perhitungan) secara global dan digambarkan sebagai garis tanggal. Pada peta garis tanggal diketahui di daerah mana bulan dan matahari terbenam bersamaan. Inilah garis tanggal wujudul hilal (wujudnya hilal di kaki langit). Dengan garis tersebut diketahui bahwa di wilayah sebelah timur garis tanggal pada saat magrib hilal berada di bawah ufuk, sedangkan di wilayah baratnya hilal telah di atas ufuk.

Garis tanggal wujudul hilal untuk awal Zulhijah melintasi Amerika Utara, Afrika, Yaman, dan Lautan Hindia sebelah selatan Indonesia. Terlihat bahwa Arab Saudi dan Indonesia berada pada satu wilayah garis tanggal. Pada tanggal 10 Januari 2005, baik di Arab Saudi maupun Indonesia, bulan telah berada di bawah ufuk saat magrib. Jadi tidak mungkin ada kesaksian melihat hilal pada hari itu. Dengan demikian, tidak mungkin juga 1 Zulhijah 1425 jatuh pada 11 Januari 2005 dan tidak mungkin Idul Adha 20 Januari 2005. Dari gambar garis tanggal beserta beberapa kriteria selain wujudul hilal, dapat disimpulkan bahwa 1 Zulhijah jatuh pada 12 Januari 2005 dan Idul Adha 21 Januari.

Kriteria kemungkinan teramatinya hilal di Indonesia yang disepakati MABIMS (menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) adalah tinggi minimal 2 derajat dan umur hilal minimal 8 jam. Garis tanggal ketinggian bulan 2 derajat juga digambarkan pada peta garis tanggal yang melintasi Amerika Utara, Afrika, dan Australia. Karena bulan baru atau ijtimak terjadi pada pukul 19.04 WIB 10 Januari, maka saat magrib 11 Januari umur hilal telah lebih dari 8 jam. Karenanya baru pada 11 Januari hilal kemungkinan dapat terlihat. Maka 1 Zulhijah 1425 dapat disimpulkan jatuh pada 12 Januari 2005. Demikian juga dengan kriteria-kriteria lainnya.

Kesaksian hilal pada 10 Januari 2005 secara astronomi harus ditolak, karena tidak mungkin terjadi bulan yang telah terbenam dapat dilihat berada di atas ufuk. Dapat dipastikan ada kekeliruan pengamatan. Dari kalangan pengamat hilal seluruh dunia yang bergabung dalam ICOP (International Crescent Observation Project), tidak ada laporan terlihatnya hilal di seluruh dunia pada hari itu. Baru pada 11 Januari dilaporkan pengamatan hilal dari berbagai tempat di dunia. Seperti ditunjukkan pada peta garis tanggal, pada 11 Januari hampir seluruh dunia berkesempatan melihat hilal yang cukup tinggi. Salah satu pengamat di Iran berhasil memotretnya dalam kondisi kaki langit yang berawan.

Dari analisis garis tanggal dan laporan rukyatul hilal seluruh dunia, semestinya 1 Zulhijah jatuh pada 12 Januari 2005, hari wukuf 9 Zulhijah pada 20 Januari, dan Idul Adha pada 21 Januari 2005. Pemerintah Indonesia telah memutuskan dalam ketetapan Menteri Agama RI bahwa Idul Adha jatuh pada 21 Januari.

Menyikapi perbedaan

Dalam masalah ibadah, pertimbangan syariat lebih diutamakan daripada pertimbangan lainnya. Walaupun secara astronomi keputusan Arab Saudi dinilai kontroversial dan keliru, secara syariat tetap dianggap sah. Laporan saksi yang dianggap adil telah cukup dijadikan dasar tanpa perlu konfirmasi apa pun. Itulah keyakinan Majelis Tinggi Arab Saudi. Karenanya di Arab Saudi dan negara-negara sekitarnya yang mengikutinya, sah bagi mereka untuk berIdul Adha 20 Januari 2005.

Masalahnya kemudian timbul kebingungan pada sebagian masyarakat di Indonesia yang akan berIdul Adha pada 21 Januari 2004. Sahkah saum Arafah pada 20 Januari 2005 saat saudara-saudara kita di Arab Saudi berIdul Adha? Kita ketahui, saum pada hari raya haram hukumnya. Masalah ini sederhana saja. Dalam ibadah kita tidak boleh ada keraguan, pilih mana yang kita yakini.

Bila kita yakin mengikuti Arab Saudi, saum pada 20 Januari jelas haramnya karena kita yakin hari itu Idul Adha. Tetapi lain masalahnya kalau kita mengikuti ketetapan pemerintah Indonesia yang menganggap 20 Januari masih 9 Zulhijah, maka sunnah untuk saum Arafah pada hari itu. Tidak haram saum karena yakin hari itu bukan Idul Adha. Tidak boleh ada keraguan dengan mengikuti Idul Adha seperti ketetapan di Indonesia, tetapi juga meyakini Idul Adha seperti di Arab Saudi. Tidak ada dua kali Idul Adha yang diyakini, salah satunya harus ditinggalkan.

Keyakinan untuk merayakan Idul Adha berdasarkan penetapan 1 Zulhijah di masing-masing tempat telah dilaksanakan di banyak negara. Dewan Fiqih Islamic Society of North America (ISNA) akhirnya juga beralih mengikuti rukyatul hilal setempat, walau sebelumnya selalu mengikuti Arab Saudi dalam penetapan Idul Adha. Keputusan itu diambilnya, antara lain setelah berkonsultasi dengan ulama Arab Saudi yang menyatakan tidak ada beda penetapan Idulfitri dan Idul Adha. Kita harus konsisten, bila Idulfitri ditetapkan berdasarkan rukyat setempat, demikian pula dengan Idul Adha.

Sebagian kalangan masih banyak yang berpendapat bahwa Idul Adha semestinya mengacu pada hari wuquf di Arafah. Namun tidak ada dalil yang kuat yang menyatakan Idul Adha mesti sehari sesudah wukuf, semuanya bersifat ijtihadiyah yang bisa diperdebatkan. Tidak salah juga Idul Adha dilaksanakan 10 Zulhijah, karena wukuf 9 Zulhijah. Dan 10 Zulhijah dapat berbeda di setiap tempat bergantung saat terlihatnya hilal. Ada juga yang berpendapat Idul Adha (hari raya kurban), bukanlah Idul Hajj (hari raya haji) yang terikat dengan ritual di tanah suci dan hanya ada di tanah suci. Sehingga tidak semestinya Idul Adha selalu mengacu pada hari wukuf. Bagaimanapun juga tidak mungkin disamakan waktunya dengan waktu di tanah suci.

Itulah perbedaan pendapat yang ada di masyarakat. Silakan ikuti mana yang dianggap paling meyakinkan dan menenteramkan dalam beribadah. Kita tidak bisa memaksakan pendapat dalam hal ini. Persaudaraan tetap harus dijaga. Salat Idul Adha hukumnya sunnah, namun menjaga persaudaraan wajib hukumnya.

Untuk menenteramkan umat ketika terjadi perbedaan dalam penentuan hari raya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa nomor 2/2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Fatwa MUI menyatakan bahwa penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah dilakukan berdasarkan metode rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama) dan hisab (perhitungan astronomi) oleh pemerintah c.q. Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Ini menegaskan bahwa kedua metode yang selama ini dipakai di Indonesia berkedudukan sejajar. Keduanya merupakan komplemen yang tidak terpisahkan. Masing-masing punya keunggulan, namun juga punya kelemahan kalau berdiri sendiri. Otoritas diberikan kepada pemerintah sebagai "Ulil Amri" yang wajib ditaati secara syariat. Fatwa MUI juga menegaskan bahwa seluruh umat Islam Indonesia wajib menaati ketetapan pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.

Otoritas syar'iyah pemerintah RI (dalam hal ini dilaksanakan oleh Menteri Agama) tentu tidak boleh dilaksanakan secara sembarang. Karenanya fatwa itu menyatakan wajib bagi Menteri Agama berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, dan instansi terkait. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla'-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI. Ini menyatakan bahwa di mana pun ada kesaksian hilal yang mungkin dirukyat dalam wilayah hukum Indonesia (wilayatul hukmi) maka kesaksian tersebut dapat diterima. Juga kesaksian lain di wilayah sekitar Indonesia yang telah disepakati sebagai satu mathla', yaitu negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Terkait masih banyaknya kalangan yang mengikuti Arab Saudi dalam penetapan Idul Adha sehingga berbeda dengan penetapan di Indonesia, ada yang menarik dari penuturan seorang wakil di Badan Hisab Rukyat dari ormas Islam yang biasa mengikut Arab Saudi. Seorang mufti Arab Saudi pernah memberikan tausiyah (nasihat) bahwa menjaga ukhuwah lebih diutamakan daripada memisahkan diri dalam pelaksanaan Idul Adha demi mengikuti Arab Saudi. Karenanya ormas Islam tersebut kemudian mengikuti penetapan Idul Adha di Indonesia, walau belakangan kembali lagi pada sikap semula.

Upaya penyatuan Idul Adha memerlukan pendekatan ukhuwah, bukan dengan memperdebatkan dalil dan logika ilmiah yang mungkin tidak berujung. Saum arafah dapat dilaksanakan berdasarkan pendapat masing-masing, mengikuti hari wukuf di Arafah atau tanggal 9 Zulhijah di Indonesia. Saum bersifat pribadi, sehingga tidak tampak perbedaannya di masyarakat. Namun untuk pelaksanaan Idul Adha mestinya dapat diseragamkan. Sebagian besar ulama membolehkan melaksanakan salat Idul Adha selama hari tasyrik sehingga ada toleransi bagi yang mengikuti Arab Saudi untuk menunda salat Idul Adha untuk bersama dengan saudara-saudara lainnya di Indonesia. Pelaksanaan kurban juga bisa dilaksanakan selama hari tasyrik sehingga tidak bermasalah dalam hal ini. Alangkah indahnya bila ukhuwah diutamakan dalam menghadapi perbedaan pendapat.

Related Post by Category



Posted by Toko Alifa on 18.38. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

0 komentar for "Menyikapi Perbedaan Idul Adha"

Leave a reply

Silahkan komentar jika artikel ini bermanfaat dan maaf komentar spam kami hapus