Pahlawan Nuklir Fukushima yang rela Mati
Vonis Mati Buat Pahlawan Nuklir Fukushima ! 
Pesan  menyedihkan dikirimkan salah seorang pekerja Pembangkit  Listrik Tenaga  Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya.  Bunyinya: “Kami  sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib  ini seperti  menerima vonis mati.”
 Sekitar  200 pekerja PLTN Fukushima yang sering disebut ‘Fukushima  Fifty’  berupaya me-restart sistem pendingin reaktor. Membagi diri  menjadi empat  shift, mereka bekerja bergantian sembari mempertaruhkan  nyawa mereka.
 Mereka  bekerja di level radiasi yang bisa membunuh dalam seketika,  atau paling  tidak menyebabkan penyakit mengerikan di tahun-tahun  mendatang. Para  ahli mengatakan, baju pelindung yang dipakai para  pekerja hanya bisa  mencegah sedikit kontaminasi.
 Grup  pekerja ini nekat tetap tinggal di dalam PLTN, meski 700  rekan mereka  lari menyelamatkan diri saat level radiasi naik ke level  yang sangat  berbahaya. Identitas mereka tidak diungkap, namun para ahli  menduga  mereka adalah teknisi garis depan dan para pemadam kebakaran  yang tahu  persis kondisi PLTN.
 Diduga  kuat mereka para lelaki yang berusia lebih tua dan dengan  sadar memilih  jadi sukarelawan karena sudah memiliki anak. Pekerja yang  lebih muda  terancam mandul karena tingginya dosis radiasi.
 Satu  televisi nasional Jepang mewawancarai salah seorang kerabat  pekerja  Fukushima. “Saat ini ayahku masih bekerja di pembangkit. Ia  mengatakan,  menerima nasibnya, seperti menerima vonis mati,” kata dia  seperti dimuat  Daily Mail, Jumat, 18 Maret 2011.
 Yang  lain mengatakan, ayahnya yang sudah berusia 59 tahun jadi  sukarelawan  dan memilih tetap tinggal di Fukushima. “Aku dengar dia  merelakan diri  meski 1,5 tahun lagi akan memasuki masa pensiun.  Mendengar itu, aku  menangis.” Padahal, katanya lagi, “Di rumah, Ayah  tidak seperti sosok  lelaki yang bisa menangani pekerjaan besar dan  penting. Tapi hari ini  aku sangat-sangat bangga. Aku berdoa ia bisa  kembali dengan selamat.”
 Salah  satu gadis yang sedang berharap-harap cemas menanti kabar  ayahnya di  Fukushima menceritakan dia tak pernah melihat ibunya  menangis sedemikian  hebat. Dalam akun Twitter-nya, dia menulis:  “Orang-orang di reaktor  sedang berjuang mengorbankan hidup mereka untuk  melindungi kita semua,”  kata dia. “Ayah, aku mohon, kembalilah dengan  selamat.”
 Dari pekerja yang memilih tinggal, lima di antaranya dilaporkan meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.
 Salah  seorang pekerja perempuan, Michiko Otsuki, yang mengaku  bertugas saat  reaktor nomor dua Fukushima meledak, menceritakan  pengalamannya di  Internet. “Saat alarm tsunami berdering kami tak bisa  melihat apa yang  terjadi, kami terus bekerja, meski sangat menyadari  bahwa itu bisa  berarti mati.”
 Diceritakan  dia, mesin pendingin reaktor yang berada di dekat laut  hancur diterjang  tsunami. Semua orang bekerja mati-matian untuk  memperbaikinya. “Melawan  rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri  untuk terus bekerja.”
 Di  tengah ketidakpastian nasib keluarga paska tsunami, dia  menambahkan,  para pekerja reaktor nuklir harus mengenyampingkan  perasaan pribadi  mereka dan terus bekerja.
 Dr.  Michio Kaku, seorang ahli teori fisika mengatakan kepada  jaringan  televisi ABC bahwa situasi telah memburuk di hari-hari  terakhir ini.  “Kita bicara soal para pekerja yang masuk ke reaktor  nuklir, mungkin  seperti sedang menjalankan misi bunuh diri.”
 Michael  Friedlander, yang telah bekerja di manajemen krisis  reaktor nuklir  serupa di Amerika Serikat menambahkan, selama bekerja,  para pekerja itu  boleh jadi hanya dibekali ransum gaya militer dan  minum air dingin untuk  bertahan hidup.
 “Suasana  pasti sangat dingin dan gelap. Anda juga harus memastikan  tak akan  mencemari diri sendiri saat makan,” kata dia. “Saya  memastikan 100  persen, mereka yang sekarang ada di Fukushima  benar-benar berkomitmen  untuk membuat reaktor ini jadi aman, sekalipun  dengan risiko nyawa.”
 Harian  The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan  kelompok  terakhir yang dipertahankan di PLTN Fukushima Daiichi, di  Jepang bagian  timur laut. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter  untuk  bergerak.
 Mereka  harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan  hidrogen yang  telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar  perangkat inti PLTN  tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi,  akibatnya fatal. Zat  radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.
 Maka,  dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan  galon air laut  setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah  lumernya  komponen reaktor.
 INTERNASIONAL | 16.03.2011
 50 Pahlawan dari Fukushima
 PLTN Fukushima I
 Sebanyak  50 teknisi mempertaruhkan nyawanya dan bertahan di PLTN  Fukushima untuk  mencegah terjadinya bencana yang semakin mengancam. Di  internet mereka  dielu-elukan sebagai pahlawan
 Kabar  muram yang datang bertubi-tubi semakin memperjelas betapa  harapan  jutaan penduduk Jepang, dan mungkin juga dunia internasional,  kini  bergantung kepada ke-50 teknisi yang masih bertahan di PLTN  Fukushima.  Dengan dibekali baju pelindung berwarna putih mereka hingga  hari Rabu  masih berusaha mencegah terjadi bencana nuklir yang kian  mengancam.
 Ke-lima  puluh pria itu ditugaskan mendinginkan batang-batang  nuklir dengan air  sehingga tidak terjadi kebocoran. Kian hari semakin  jelas bahwa peluang  mereka semakin tipis. Tidak pula jelas sebesar apa   risiko kesehatan  yang harus mereka tanggung.
 “Mereka  yang bekerja di PLTN, tidak melarikan diri, melainkan  terus berjuang,”  tulis Michiko Otsuki di jejaring onilne Mixi. Ia  sendiri bekerja di PLTN  Fukushima II dan dievakuasi akibat tingginya  tingkat paparan  radioaktif. “Tolong jangan lupakan bahwa di sana masih  ada orang yang  mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi jutaan yang  lain.”
 Mempertaruhkan Nyawa Demi Keamanan Jutaan Penduduk
 Hingga  jumat pekan lalu, perusahaan pengelola TEPCO masih  mempekerjakan 800  pegawai di PLTN Fukushima I. Kecuali 50 teknisi yang  masih bertahan,  TEPCO telah mengevakuasi semua pegawai lantaran bahaya  radiasi setelah  serangkaian ledakan dan kebakaran di kompleks PLTN.
 Sekitar  200.000 penduduk yang tinggal dalam jarak 20 Kilometer  juga telah  diungsikan. Hari Rabu ke-50 teknisi itu malah sempat  diperintahkan untuk  meninggalkan kompleks pembangkit kistrik untuk  sementara.
 Presiden  Komunitas Jerman untuk perlindungan terhadap bahaya  radiasi, Sebastian  Pflugbeil merasakan simpati terhadap “ke-50  pahlawan” Fukushima. “Baju  pelindung tidak imun terhadap paparan  radioaktif,” katanya kepada  stasiun televisi n-tv.
 Ia  meyakini, ke-50 pria tersebut sekarang saja sudah menderita  gangguan  kesehatan. “PLTN Fukushima sudah menjadi puing, entah itu ada  orang di  sana yang mencoba mencegah kemungkinan terburuk atau tidak.”  Pflugbeil  menuntut TEPCO agar segera mengevakuasi ke-50 teknisi  tesebut.´
 Sambungan Listrik Hampir Rampung
 Setidaknya  mereka mendapat dukungan penuh pemerintah. Ke-50  pegawai di Fukushima  bekerja, ” tanpa mengindahkan bahaya,” kata  Perdana Menteri Naoto Kan.  Di berbagai forum internet, termasuk juga  Facebook, mereka telah  dianggap sebagai pahlawan.
 Namun  tidak semua reaksi yang berdatangan bernada positif. Harian  “Yomiuri  Shmbun melaporkan, Kementrian Pertahanan Jerpang mengecam  TEPCO dan  Badan Atom Jepang, ketika sejumlah serdadu terluka di  Fukushima dan  kemungkinan terpapar partikel radioaktif. “Mereka bilang  semuanya aman  dan kami mempercayainya,” kata seorang jurubicara  Kementrian Pertahanan.  “Kami juga mengerti bahaya radiasi, tapi kami  bukan pakar soal stuktur  sebuah reaktor nuklir.”
 Sementara  itu, para teknisi di Fukushima semakin berpacu dengan  waktu. Upaya  memadamkan api dan mendinginkan reaktor dengan menggunakan  helikopter  terpaksa dibatalkan akibat bahaya paparan radioaktif.  Menurut laporan  terakhir sambungan listrik menuju PLTN Fukushima hampir  rampung. Listrik  tersebut dibutuhkan untuk kembali menyalakan sistem  pendingin reaktor.
 Para  teknisi bertindak karena “sadar akan kewajibannya”, kata Baku  Nishio  dari Pusat Informasi Nuklir yang menolak energi atom. “Adalah  masalah  besar, bahwa sebuah negara harus mempertaruhkan nasibnya di  tangan  sekelompok kecil pegawai yang harus bertahan,” tuturnya.
 
0 komentar for "Pahlawan Nuklir Fukushima yang rela Mati"