Kebenaran Sebagai Panglima
Agama diturunkan oleh Allah SWT untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Sebagai ajaran Tuhan, agama mengandung kebenaran yang bersifat mutlak atau absolut. Kaum mukmin diperintahkan agar selalu mencari dan menerima kebenaran, serta memegang teguh, mempertahankan dan mewujudkan kebenaran tersebut dalam realitas kehidupan, tanpa ragu-ragu sedikitpun (QS. Al-Baqarah [2]:147)
Pada dasarnya kebenaran agama itu merupakan sesuatu yang jelas dan terang, tidak rumit atau absurd (QS. Albaqarah [2]:256), serta sesuai dengan kecenderungan dasar manusia (QS. Ar-Rum [30]:30). Namun perlu disadari bahwa dalam kehidupan ini banyak faktor yang menjadi penutup atau selubung kebenaran, sehingga manusia berpaling dan melawan kebenaran. Dalam Al-Qur'an dikemukakan faktor-faktor yang secara objektive menjadi tabir dan penghalang kebenaran itu.
Pertama, sifat sombong dan membesarkan diri (al-kibr). Dalam sejarah, hampir semua elit masyarakat (al-mala') menolak dan melawan dakwah para nabi karena faktor kesombongan ini. Contoh nyata dalam hal ini adalah Fir'aun dan kaumnya. Allah SWT berfirman : "Fir'aun dan kaumnya mengingkarinya karena kedzaliman dan kesombongan padahal hati mereka meyakini" (QS. Al-Naml [27]:14)
Kedua, sikap tradisional - mengikuti tradisi leluhur secara membabibuta. Kaum kafir Quraisy Makkah tidak dapat menerima kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka bersikap tradisional. Inilah makna firman Allah : "Mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka."(QS. Az-Zukhruf [43]:22)
Ketiga, sikap sektarian - hanya berbangga dengan golongan sendiri dan melecehkan golongan lain. Sikap ini mengandung makna pemutlakan kepada diri sendiri, sehingga terkandung unsur kemusyrikan di dalamnya. Al-Qur'an mengecam keras sikap ini. Perhatikan firman Allah ini, : "Janganlah kamu termasuk orang -orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecahbelah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS. Ar-Rum [30]:31-32)
Berbagai belenggu kebenaran ini harus disingkirkan. Caranya, pertama sekali kita harus meneguhkan akidah tauhid dalam arti mengembalikan segala kemuliaan, kekuasaan, dan kebenaran hanya kepada Allah SWT semata. Berikutnya, kita harus mengembangkan sikap terbuka, bersedia menerima ide-ide dan konsep-konsep yang secara objektif mengandung kebenaran dari manapun datangnya. Lalu yang terakhir kita harus menjaga kesucian fitrah kita, sehingga kita menjadi mahluk yang hanif (berpihak kepada kebenaran) dan muslim (berserah diri kepada Allah SWT).
Di luar kebenaran itu hanya ada kebatilan (QS. Yunus:32). Ini berarti kebenaran harus dipegang teguh dan dijadikan sebagai imam dan panglima dalam kehidupan. Sebab bila tidak, maka kesesatan dan kebatilan yang akan membimbing dan memandu kita. Seperti kata kaum sufi, "man laisa syaikh, fasyaiku-hu syaitan", barang siapa yang tidak memiliki pembimbing, maka setan dan kejahatanlah yang akan menjadi pembimbing dan panglimanya. Wallahu a'lam.
0 komentar for "Kebenaran Sebagai Panglima"