Ketulusan dalam Beragama
Agama (ad-din) pada dasarnya mengandung makna kepatuhan manusia secara total kepada Allah SWT. Agama dalam pengertian ini tidak dapat dicapai tanpa sifat ikhlas, yaitu sikap penyerahan diri sepenuh-penuhnya kepada Tuhan tanpa disertai pertimbangan dan motif-motif lain yang bersifat duniawi. Inilah makna firman Allah, ''Mereka tidak disuruh kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan kepatuhan kepada-Nya dalam beragama.'' (Al-Bayyinah: 5).
Dari sudut kebahasaan, perkataan Arab ikhlash berakar dari kata khalish, berarti murni, tidak bercampur dengan noda atau yang kotor, seperti susu murni dalam perut sapi yang tidak bercampur dengan darah dan kotoran. Allah berfirman, ''Kami memberi minum dari apa yang ada dalam perutnya berupa susu yang bersih antara tahi dan darah yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.'' (Al-Nahl: 66).
Menurut sebagian pakar, ikhlas bermakna shafa' (bening), dari perkataan shafa 'al-qalb (beningnya hati) lantaran orang ikhlas adalah orang yang hatinya bening atau bersih. Menurut Imam Ghazali, ikhlas bermakna shidq-u al-niyyah fi al-'amal (niat yang benar dalam bekerja atau beribadah). Ini berarti, setiap amal dan kebaikan haruslah dilakukan karena Allah SWT.
Tanpa ketulusan, maka semua kebaikan yang kita lakukan, selain tidak sejati, juga terancam penyakit hati yang sangat berbahaya, yaitu riya' (pamrih) dan syirik. Orang yang tulus pada hakikatnya adalah orang yang diselamatkan oleh Allah dari dua penyakit itu: riya' dan syirik. Dalam konteks inilah Ghazali berkata, ''Semua manusia celaka, kecuali orang-orang yang berilmu. Para ilmuwan inipun celaka, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Dan yang disebutkan terakhir inipun celaka, kecuali mereka yang tulus ikhlas.''
Berbeda dengan manusia pada umumnya, orang yang tulus memiliki ciri-ciri yang khas. Pertama, mereka tidak terpengaruh oleh pujian dan cercaan manusia. Bagi mereka pujian atau cercaan sama saja. Oleh sebab itu, orang yang masih suka dipuja dan takut dicerca, pastilah ia bukan tipe orang yang ikhlas.
Kedua, mereka tidak berharap imbalan apa pun (pamrih) dari amal kebaikan yang mereka lakukan, selain mengharap perkenan dan ridha Tuhan. Dari sini diketahui bahwa orang yang bekerja dan beribadah karena motif-motif dan kepentingan duniawi, seperti mencari muka dan popularitas, serta demi pangkat dan kedudukan, maka ia sama sekali bukan orang ikhlas. Dalam hadis Bukhari diterangkan bahwa orang semacam itu akan menyesal dan nelangsa, lantaran tidak memperoleh kebaikan apa pun di akhirat kelak.
Ketiga, mereka lupa dan tidak ingat lagi semua kebaikan yang pernah dilakukan. Orang yang selalu menuturkan kebaikannya apalagi disertai cercaan (al-mannu wa al-adza) kepada orang yang pernah diberinya bantuan, sungguh ia jauh dari orang ikhlas. Sabda Nabi SAW yang menyuruh agar kita memberi sedekah secara diam-diam, jauh dari gembar-gembor, ibarat tangan kanan memberi, tapi tangan kiri tidak mengetahuinya, tentulah hanya bisa dimengerti dalam konteks ikhlas ini. Semoga kita ikhlas beramal, bukan beramal seikhlasnya! Wallahu a'lam.
0 komentar for "Ketulusan dalam Beragama"