Sarjana, Menatap Masa Depan yang Suram
Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Mengandalkan
Ijazahmu .................
Itulah penggalan bait lagu sang Pahlawan Asia kita, Iwan Fals. Sebuah lagu yang mendiskripsikan tentang potret pemuda bangsa yang tetap kesulitan untuk mendapat pekerjaan walaupun yang bersangkutan sudah mengantongi ijazah sarjana.
Dalam kehidupan nyata celoteh Iwan fals memang benar adanya. Terlebih lagi, dengan kondisi bangsa yang masih tertatih-tatih setelah hantaman krisis, pengangguran merupakan problem yang sangat krusial dan sulit diatasi. Berbagai forum maupun seminar sudah digelar untuk mencari cara dalam menekan angka pengangguran. Akan tetapi toh yang terjadi bukannya berkurang, tetapi setiap tahun angka pengangguran semakin melangit.
Salah satu subyek pengangguran adalah mereka yang terkategori sebagai pengangguran intelektual. Label ini diberikan karena sejatinya mereka sudah mengenyam pendidikan tinggi dan sebagian besar malah sarjana. Menurut data dari BPS pusat pengangguran yang menyandang gelar sarjana tingkat Jawa Timur mencapai angka 269.415 serta mengalami kenaikan sekitar 1,2 % setiap tahunnya.
Tingginya nominal sarjana yang menganggur disebabkan oleh banyak faktor. Ibarat benang yang kusut, maka kekusutannya harus diurai satu persatu. Pertama, akar persoalan yang utama tidak lain dari terbatasnya lapangan kerja. Perbandingan antara lapangan pekerjaan yang tersedia dengan output perguruan tinggi tidak seimbang. Akibat sedikitnya lahan pekerjaan tersebut maka sudah dipastikan akan banyak yang tidak kebagian.
Kedua, krisis moneter yang menghantam Indonesia pada 1997 lalu telah membuat sktor riil collaps. Para sarjana yang sebelumnya berbondong-bondong memasuki sektor konstruksi dan perbankan terkena pemutusan Hubungan kerja (PHK).
Ketiga, menjamurnya lembaga pendidikan tinggi ikut memicu terjadinya booming pengangguran. Banyak diantara mereka yang menggaet konsumen dengan rayuan proses pendidikan yang cepat bahkan instan serta iming-iming kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi dalam kelanjutannya justru yang terjadi sebaliknya. Walaupun proses kuliahnya berlangsung cepat tetapi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan hanyalah retorika belaka. Selain itu, banyak dari lembaga pendidikan tersebut yang tidak Qualified. Awalnya mereka hanya penyelenggarakan pendidikan setara diploma. Kemudian dengan cepat segera berubah dengan menyediakan jenjang sarjana. Peningkatan status yang terlalu dipaksakan inilah yang membuat mutunya pun asal-asalan.
Kempat, kapitalisasi pendidikan menyebabkan bergesarnya orientasi pendidikan di perguruan tinggi. Syndrome yang menempatkan kapital (uang) sebagai syarat utama telah menyebakan institusi pendidikan ibarat pedagang yang menjual pendidikansebagai komoditas barang dagangan. Titik inilah mengakibatkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Institusi pendidikan tidak lagi mencetak scientific maupun profesional skill, melainkan sarjana massal yang tentu saja mutunya dipertanyakan.
Kelima, berbicara kualitas akhirnya berpulang kepada si sarjana itu sendiri. Banyak diantara mereka yang tidak menguasai basicnya yang telah ditekuni semasa kuliah. Bukan hal yang aneh kalau banyak ditemukan sarjana yang kemampuan bahasa inggrisnya sangat buruk bahkan tidak bisa mengoperasilkan komputer. Kondisi ini disebabkan oleh pola belajar ketika menekuni bangku kuliah. Sebagian dari meraka menganut budaya hedon dan menjadikan kuliah sekedar mencari titel dan ijazah. Dengan pola seperti itu tidak heran kalau setelah keluarpun mereka tidak memiliki skill yang memadai.
Keenam, belum terjaminnya keamananan dari ancaman terorisme, birokrasi yang ruwet dan korup, tidak adanya kepastian hukum, regulasi yang terlalu memberatkan para pengusaha telah membuat para investor ragu-ragu menanamkan modalnya di Indonesia. Apabila hal ini tidak cepat diatasi oleh pemerintah terpilih maka jangan berharap akan terbuka lapangan kerja baru.
Akumulasi dari beragam persoalan diatas yang mengakibatkan mengapa pengangguran sangat sulit ditekan. Ibarat penyakit, pengangguran merupakan tumor yang kian hari makin akut. Oleh karena itu jangan heran kalau tidak sedikit para mahasiswa yang menunda kelulusannya sambil menunggu keadaan menjadi lebih baik. Mereka lebih memilih untuk berlama-lama menjadi mahasiswa dari pada menjadi sarjana yang menganggur. Suatu hal yang patut disayangkan memang.
0 komentar for "Sarjana, Menatap Masa Depan yang Suram"