Arie Sudjito: Pemuda Alami Disorientasi, Radikalisme Jadi Pelarian
"Sekarang ini generasi muda mengalami disorientasi (tujuan hidup). Itu yang mereka hadapi. Karena solidaritas sesama mulai memudar, masalah yang dihadapi tidak terpecahkan komunitas, mereka menarik diri lalu lari pada radikalisme," kata pengamat sosial politik dari UGM, Arie Sudjito.
Berikut ini wawancara detikcom dengan pria yang juga Ketua Umum Pergerakan Indonesia ini, Jumat (29/4/20012):
Pepi dan beberapa temannya yang juga sarjana diduga terlibat bom buku dan bom Serpong. Mengapa kalangan terpelajar yang biasanya rasional justru tega melukai banyak orang?
Sekarang ini generasi muda mengalami disorientasi (tujuan hidup). Itu yang mereka hadapi. Karena solidaritas sesama mulai memudar, masalah yang dihadapi tidak terpecahkan komunitas, mereka menarik diri lalu lari pada radikalisme.
Ketika ada NII, mereka mudah terindoktrinasi. Anak-anak muda seolah kehilangan peluang untuk melakukan refleksi bersama. Karena itu, mereka menarik diri dari lingkungan komunitasnya.
Ada kecenderungan anak-anak muda memiliki kedekatan dengan yang lain melalui media maya. Mereka sibuk dengan internet dan laptopnya sehingga tercerabut dari dunia sosialnya. Ketika mereka menanggung beban akan masalah, masalah itu tidak bisa dipecahkan secara kolektif, sehingga mereka menyelesaikannya sendiri.
Radikalisme memang gampang memapar orang muda?
Anak muda itu memang berada dalam fase suka mencoba hal yang baru. Ketika tidak ada pikiran alternatif, maka radikalisme bisa masuk ke dalam kesadaran mereka. Kalau mereka biasa berdiskusi dan berdebat, ketika ada yang berusaha memasukkan pikiran lain yang tidak sesuai tentu akan dilawan.
Disayangkan juga kalau tidak ada forum komunitas bagi anak muda sehingga mereka bisa berbagi. Minimnya forum solidaritas perkawanan seperti itu membuat banyak yang jago debat tapi belum tentu benar substansinya.
Apa yang menjadi pemicu bagi radikalisme ini?
Ada kaitan kekecewaan yang menumpuk, dan itu kemudian menjadi kumulatif. Mereka menghadapi kejenuhan tetapi tidak dialirkan. Sementara itu, partai politik sibuk sendiri, pemerintah sibuk juga.
Tidak ada yang memperhatikan ini, jadi ketika ada yang radikal dan mengindoktrinasi, maka akan mudah sekali mereka dimasuki. Ada problem struktural di mana mereka merasa tidak ada ruang untuk berbagi. Kampus sibuk dengan industri pendidikan, dosen dipaksa bertindak seperti petugas administrasi. Padahal seharusnya kampus mampu memberikan pendidikan yang selalu humanis.
Dulu waktu Orde Baru ada birokratisasi pendidikan. Sekarang yang banyak dijumpai adalah komoditisasi pendidikan. Dulu pengetahuan menjadi alat politik, sekarang alat perdagangan. Perguruan tinggi sepertinya tidak memiliki mekanisme pengembangan humanity yang memadai. Karena itu, ini digarap oleh kelompok itu (radikal).
Radikalisme ini menyasar kalangan yang bagimana? Ada kaitan dengan status ekonomi sosial dan tingkat pendidikan?
Biasanya menyasar kelompok masyarakat yang kehilangan pegangan. Ketika tidak ada jangkar yang memperkuat keyakinan hidup selama ini, ya bisa saja terbawa (oleh radikalisme). Ini harus dibenahi. Jangan hanya diburu ketika kasus sudah muncul, tetapi harus dijemput atau ada pembenahan sejak awal.
Simbol-simbol Islam kerap dibajak untuk kepentingan materi dan politik?
Menggunakn simbol Islam tapi motifnya ekonomi dan politik bukan teologi. Untuk menjawab fenomena ini, bukan hanya sekadar ulama tetapi juga pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah harus membuat kebijakan yang menyejahterakan dan tepat sasaran sehingga tidak membuat kekecewaan. Sementara itu masyarakat membangun social institution untuk memfasilitasi anak muda mengembangkan nilai-nilai perikemanusiaan.
Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan diberikan ketika masih di belajar di sekolah. Mengapa masih juga ada kasus semacam ini?
Ada gejala Pancasila dipanggil kalau ada masalah. Mestinya tidak hanya diingat pada saat ada masalah, tetapi mengilhami kebijakan pembangunan dan politik demokrasi. Kalau dibilang teroris tidak punya etika, bagaimana dengan parlemen?
Seolah hanya teroris yang tidak punya etika, padahal kalau mau melihat lebih luas lagi ada juga yang masih tak beretika. Penting bagi kita untuk memahami ini. Jadi jangan hanya sekadar melihat yang garis keras yang tidak beretika, tapi lihat lebih luas lagi. Kalau sepakat Pancasila dan UUD 1945, maka sudah seharusnya semua beretika dan ini menjadi tradisi bangsa.
Posted by Toko Alifa
on 20.22.
Filed under
Berita Ringan,
Top News
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
You can leave a response or trackback to this entry
0 komentar for "Arie Sudjito: Pemuda Alami Disorientasi, Radikalisme Jadi Pelarian"